Temanku,
Jodohku
Seperti
halnya aku terbiasa menghirup udara, seterbiasa itu aku dengan kehadirannya.
Seseorang yang aku anggap teman, sahabat dan tempat aku bersandar. Kami selalu menghabiskan waktu bersama, bercerita
tentang apa saja hingga sering kali kami tidak sadar bahwa kami sudah berdebat.
Karena aku tak pernah malu untuk terlihat jelek didepannya, aku tak pernah
sungkan untuk menangis didepannya. Kami berbagi sedih dan bahagia.
Hingga
malam itu, aku masih menganggap dia seperti itu. Tapi itu adalah hari terakhir,
paginya, aku mendapatkan kabar bahwa dia menyukaiku. Itu memang tidak munkin,
bagaimana bisa? Itu yang selalu aku pikirkan. Aku belum mempercayainya sampai
sore hari itu, di depanku dia bersikap aneh. Aku selalu berusaha menepis
pikiran bahwa dia menyukaiku saat bersamanya. Berpura-pura tidak mendengar
kabar apapun dan berusaha terlihat biasa tapi aku gagal. Kecanggunganku membuat
dia sadar ada yg aku sembunyikan dan sore itu dengan cool nya dia mengaku “kemarin, Arinka bilang suka padaku tapi aku
bilang kalau aku suka padamu” dengan
bodohnya aku menjawab “aku sudah dengar dan bercandamu sudah kelewatan” aku gak
kalah bersikap cool dan dengan
entengnya dia menjawab “tapi aku gak bercanda” dan pergi begitu saja.
Sesampai
dirumah aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku mencoba merangkai dan
mengingat-ngingat lagi hari-hari yang aku lalui dengan dia, mencoba menemukan
bukti bahwa dia menyukaiku. Setelah memikirkannya, Aku mengambil kesimpulan
bahwa itu tidak munkin, aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak merasakan
bahwa dia menyukaiku. Sampai akhirnya aku memutuskan bahwa aku tidak akan kalah
dalam permainan ini, yah. . bagiku ini permainan, dia mau mempermainkan aku dan
aku akan membuat dia kapok dan nyerah.
Paginya,
saat bertemu dengannya aku bersikap seperti biasa, tidak terjadi apa-apa. Toh
dia tidak nembak aku so aku tidak
perlu menjawab iya atau tidak. Hari ini dia terlihat cerah, tersenyum dari jauh
saat melihatku, menyapaku dan bertanya apakah tidurku nyenyak semalam. Aneh
tapi aku tahan. Aku jawab dengan santai dan bersikap sebiasa munkin. Tapi dia
terus menunjukkan perhatiannya padaku. Dia membawakan tasku, mengajak sarapan
bareng, meminta pulang bareng dan mengajak pergi kekonser band kesukaanku malam
harinya. Aku sudah tidak tahan dan karena aku tidak mau kalah, aku katakan
padanya “ada apa denganmu hari ini? Apa kau makan sesuatu yg biasanya tidak
kamu makan? Bersikaplah seperti biasanya” jawabku ketus. Senyum dia hilang, dan
balik bertanya padaku “apa kau marah? Apa kau tidak menyukaiku?” tanya dia
dengan suara rendah. “bukankah kita teman? Sejak kapan kita saling menyukai?
Apakah aku terlihat menyukaimu?” jawabku santai. “kamu tidak menyukaiku?” tanya
dia lagi. “kita teman dan akan selalu begitu jadi berhentilah bermain-main atau
aku akan benar-benar marah padamu” jawabku tegas dan langsung pergi.
Sejak
hari itu, dia tetap tidak merubah sikapnya. Perhatiannya sudah menggangguku,
aku munkin akan percaya dia menyukaiku jadi setiap ada kesempatan aku selalu
mengatakan padanya bahwa kami adalah teman. Saat pulang dari kampus, aku
bercerita padanya bahwa aku bertemu cowok keren dari jurusan lain difakultasku
dan kami tidak sengaja menabrak satu sama lain saat di kantin. Kemudian aku
bertanya padanya, apa dia mengenal cowok itu yang sudah aku ceritakan
ciri-cirinya. “kenapa kau melirik cowok lain, bukankah sudah ada aku” jawabnya
jujur. “ada apa denganmu? Kita ini teman. Berhentilah. Aku bahkan sudah mencium
kentutmu jadi mari kita hentikan ini” jawabku tidak kalah jujur. Aku ingin
menyadarkannya dan menyadarkan diriku sendiri tapi dia tiba-tiba berhenti dan
menatapku tajam kemudian berkata “bisakah kau tidak selalu memperjelas bahwa
kita teman? Yah kita memang teman tapi apakah dg berteman ada larangan untuk
menyukai temannya? Siapa yg membuat batasan dan aturan ini? Apakah orang itu
bisa mengontrol perasaanku?” jawabnya setengah berteriak dan pergi tak menoleh
lagi meski aku panggil dan berusaha mengejarnya.
Sejak
saat itu dia tidak pernah menegurku. Sms, BBM tak dibalas dan telfonpun tak
diangkat. Di kampus dia selalu menghindariku. Lalu, apakah dia benar-benar
menyukaiku? Bagaimana kalau iya? Apakah aku sudah menyakitinya? Dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang datang dan mengkhawatirkanku. Aku mulai
memikirkannya lagi dari awal dan dengan serius. Benarkah dia menyukaiku? Sejak
kapan? Lalu cewek yg dulu dia suka bagaimana? Apa dia lupa kalau aku baru patah
hati? Dan bukannya yakin mendapatkan jawabannya, malah semakin banyak
pertanyaan yg bermunculan.
Akhirnya,
malam itu dia mau menemuiku karena aku mengatakan padanya aku ingin membahasnya
dengan serius. Malam itu, dia terlihat canggung dan akupun menjadi canggung.
Ah. . suasananya menjadi aneh dan tidak nyaman. Aku bahkan harus hati-hati
dengan apa yang akan aku katakan. Mengingat semua yang sudah kami jalani, ini
adalah malam yang ingin cepat aku skip dan
kembali ke saat kami menjadi nyaman satu sama lain. Karena aku tidak bisa
menghindarinya, kami harus bertahan melalui krisis ini.
***
Sejak
malam itu, kami tidak hanya berteman tapi bertambah status menjadi pasangan.
Yah. . kami mulai berkencan. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu bahwa akupun
menyukai dia. Saat tiba-tiba dia menghindariku dan menjauhiku, aku sadar, aku
merindukan dia, memikirkannya dan begitu khawatir karenanya. Dia banyak menyita
waktu dan fikiranku. Dan aku fikir, tak ada seseorang yang akan lebih mengerti
aku selain dia, sahabatku. Kami tidak perlu banyak beradaptasi dan mengenal
satu sama lain lagi. Aku dan dia sadar bahwa kami mempertaruhkan satu sama lain
untuk hubungan ini karena jika ini tidak berhasil, akan sulit untuk menjadi
teman lagi, seperti dulu. Karena kami yakin dengan perasaan kami, inilah jalan
yang kami pilih. Mencintai.